Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 21

Masing-masing metode kritik memiliki kekuatan & keterbatasannya masing-masing, memiliki fokus perhatian & hal-hal yg tidak difahami masing-masing. Kritik ideologi Marxis secara tradisional kuat dalam pemahaman mengenai kelas sosial dan kontekstualisasi historis, namun lemah dalam analisa formal; feminisme sangat kuat dalam analisa gender; strukturalisme berguna untuk analisa narasi; postrukturalisme memberikan perhatian pada elemen-elemen yg diabaikan oleh metode-metode lain dan memperlemah kepercayaan naif yg mengatakan bahwa interpretasi seseorang adalah benar & pasti; psikoanalisa memberikan perhatian yg besar pada pemahaman hermeneutik yg dalam dan artikulasi isi dan makna alam bawah sadar. Semakin banyak metode kritik yg dipergunakan oleh seseorang dalam usahanya memahami sebuah teks, maka semakin besarlah kesempatan orang itu dalam menghasilkan pemahaman yg bersifat refleksif dan memandang dari berbagai sudut pandang terhadap bacaan itu.

Tentu saja, usaha untuk memahami sebuah teks hanyalah sebuah usaha untuk memahami teks itu dari sudut pandang si kritikus, tidak peduli seberapa multiperpektif nya sudut pandang yg dipakai si kritikus. Hasil pemahaman yg diperoleh dari metode kritik tertentu hanyalah sesuai dengan metode kritik itu dan bisa jadi sama atau bahkan berbeda dari pemahaman yg diperoleh oleh para pembaca teks tersebut (dikarenakan pemahaman yg dianut oleh masing-masing pembaca bisa berbeda-beda berdasarkan pada kelas sosial, ras, jenis kelamin, kesukuan, ideologi, dsb para pembaca itu sendiri). Terdapat pula pemisahan antara textual encoding dan audience decoding, dan selalu terdapat kemungkinan akan adanya keanekaragaman pemahaman dalam proses membaca sebuah teks.
Satu-satunya cara agar  dapat mengetahui bagaimana para pembaca memahami sebuah teks  adalah dengan melaksanakan survey ethnografi (lihatlah the Appendix to Kellner/Ryan 1988), bahkan meskipun si peneliti telah melakukan survey ethnografi, si peneliti tidak akan yakin bagaimana teks tersebut berproses mempengaruhi para pembaca dan membentuk keyakinan dan tingkah laku para pembaca. Semua teks bersifat polysemic dan kesimpulan yg didapat dari hasil bacaan banyak pembaca bergantung pada sudut pandang si pembaca.

Salah satu cara memahami teks adalah dengan menempatkannya dalam konteks historis teks tersebut, untuk mengetahui seberapa tepatnya teks tersebut dengan genre tertentu dan untuk mengetahui bagaimana teks tersebut mengusung/mengungkapkan pendirian-pendirian ideologis tertentu. Bentuk kontekstualisasi ini, yang dibeberkan dalam artikel ini, memahami teks secara historis dan politis sebagai argumen-argumen/pendapat-pendapat ideologis yang dihasilkan dalam konteks tertentu. Semakin banyak sudut pandang yg dipakai oleh seseorang untuk mengungkap hal-hal yg tersembunyi didalam bacaan ini, maka semakin lengkaplah pemahaman seseorang mengenai bacaan itu, dan semakin jelaslah gambaran mengenai permasalahan ideologis yg terdapat dalam tersebut. Pendekatan kontekstual ini menggunakan sejarah untuk membaca/memahami teks dan menggunakan teks untuk membaca/memahami sejarah. Optik ganda semacam itu membuat kita memiliki pemahaman yg mendalam mengenai multi hubungan yg ada diantara teks dan konteks, antara film dan sejarah.

Pada akhirnya, ditarik kesimpulan bahwa sudut-sudut pandang teoritis mengenai film, politik, dan ideologi yg dihadirkan dalam tulisan ini mengesankan bahwa hegemoni ideologis yg ada dalam masyarakat AS zaman sekarang bersifat kompleks, penuh persaingan, dan secara terus-menerus dipertanyakan. Hegemoni dinegosiasikan dan dinegosiasikan ulang, dan rentan terhadap serangan dan rongrongan. Rencana-rencana ini mengandung implikasi-implikasi politis tertentu pada situasi sekarang  dimana hegemoni politis pihak sayap kanan pada masa-masa pemerintahan Reagan telah beralih ke faham yg lebih mendukung konservatisme pada regim pemerintahan Bush. Yang dalam arah yg berlawanan menjadikannya rapuh, tidak kokoh, dan menjadi sasaran hujatan dan pemutarbalikan fakta. Memahami film dan budaya populer dengan menggunakan teknik diagnosa, menghadirkan pemahaman yg mendalam mengenai situasi politis, menghadirkan pemahaman yg mendalam mengenai kekuatan dan kelemahan kekuatan-kekuatan politis yg ada pada zaman tersebut, menghadirkan pemahaman yg mendalam mengenai harapan-harapan dan ketakutan yg ada di tengah masyarakat. Oleh karena itu film menyediakan pemahaman mendalam yg penting mengenai psikologi, sosial-politik, dan ideologi yg menyelimuti masyarakat tertentu pada masa tertentu dalam sejarah.

Memahami film  menggunakan teknik diagnosa juga memungkinkan seseorang mendeteksi solusi ideologis apa saja yg tersedia bagi berbagai macam permasalahan, dan oleh karenanya membuat kita mampu mengantisipasi trend/kecenderungan tertentu, membuat kita mampu memperoleh pemahaman  yg mendalam mengenai permasalahan-permasalahan sosial dan konflik-konflik sosial, dan mengenali ideologi dominan dan kekuatan-kekuatan penentang yg bermunculan. Akibatnya kritik film bernuansa diagnosa politik memungkinkan seseorang memahami batasan-batasan aliran pemikiran konservatif dan ideologi-ideologi politik liberal.  kritik film bernuansa diagnosa politik juga membantu menterjemahkan kode-kode simbolis yg terdapat pada  aliran pemikiran konservatif dan ideologi-ideologi politik liberal. Hal ini membantu seseorang memahami kehendak-kehendak utopia yg terpendam di dalam sebuah masyarakat dan tantangan-tantangan yg sedang terjadi dalam membangun representasi kebudayaan, alternatif, politik, praktek-praktek dan gerakan-gerakan yg mengarah pada pengaturan ulang. Proses membaca secara diagnostik membantu kita dengan memformulasikan praktek-praktek politik yg sedang berkembang yang mengarah pada harapan-harapan, ketakutan, dan keinginan-keinginan terpendam yg muncul secara kuat, serta yg mengarah pada alternatif konstruksi-konstruksi sosial yg dilandaskan pada unsur psikologis, sosial, dan matrik-matrik kebudayaan yg telah ada. Sebagai akibatnya kritik film diaknostik tidaklah secara keseluruhan menawarkan metode cerdas dalam memahami film namun menyediakan senjata kritik bagi mereka yg tertarik dalam kegiatan menghasilkan sebuah masyarakat yg lebih baik.


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 20

Di dalam analisa ini, sebuah sudut pandang adalah sebuah optik, sebuah cara memandang, dan metode-metode kritik yg bisa diinterpretasikan sebagai sudut pandang. Masing-masing metode kritik berfokus pada fitur-fitur tertentu dari sebuah obyek yg dipandang melalui sebuah sudut pandang tertentu : the perspective spotlights, atau mengiluminasikan beberapa fitur yang terdapat dalam sebuah teks, sementara pada saat yg bersamaan mengabaikan fitur yg lain. Semakin banyak sudut pandang yg digunakan oleh seseorang untuk memfokuskan perhatian pada sebuah teks dengan tujuan melakukan analisa dan kritik ideologis –contoh sudut pandang itu adalah generic, struktural, formal, psikoanalisa, dsb—maka semakin baiklah pemahaman orang tersebut terhadap keseluruhan dimensi dan percabangan ideologis yg terdapat pada teks tersebut. Oleh karena itu munculah kesimpulan bahwa sebuah metode multiperspektif (multi sudut pandang) akan menyediakan sebuah gudang yg berisi instrumen-instrumen kritik, sekumpulan perspektif yang memiliki kemampuan pendalaman yg maksimal yang dapat difokuskan pada artifak-artifak budaya.

Bagaimanapun juga, beberapa aturan penggunaan bagi teori budaya multiperpektif haruslah ditetapkan.  Cukup jelas bahwa, proses pemahaman sebuah teks yang memanfaatkan sudut pandang tunggal, misalnya hanya memanfaatkan marxis, feminis, psikoanalisa, atau apapun—bisa jadi menghasilkan pemahaman-pemahaman mendalam yg lebih brilian ketimbang memadukan berbagai proses pemahaman yg berbeda; lebih banyak bukan selalu berarti lebih baik.

Namun, lebih banyak sudut pandang kritis yg digunakan secara benar dan dengan cara yg mampu menyingkap makna secara hermeneutik akan memberikan potensi pemahaman teks yg lebih mendalam ((i.e. More many-sided, illuminating, and critical). Yang kedua, sebuah pendekatan multiperpektif mungkin tidak akan secara langsung bisa membantu kita memahami teks kecuali kalau pendekatan ini mensituasikan/menempatkan teks yg sedang diteliti dalam konteks sejarah teks tersebut. Sebuah teks tersusun oleh hubungan-hubungan internal yang dimiliki oleh teks itu dan hubungan teks tesebut dengan konteks socio-historical nya. Dan semakin banyak hubungan-hubungan yang dapat diketahui/ditemukan dalam sebuah penelitian teks (critical readings), maka akan semakin mendalamlah pemahaman seorang peneliti mengenai teks itu. Sebuah metode multiperpektif pastilah bersifat historis dan seyogyanya memahami/meneliti teks yg sedang diteliti dalam kaitan sejarah teks tersebut dan muungkin juga perlu memilih membaca/memahami sejarah dalam bimbingan/naungan teks yg sedang diteliti itu.

Tentu saja, strategi-strategi metodologi tertentu tidaklah cocok dengan teks yg ingin dianalisa. Dan sebuah pendekatan multiperspektif haruslah memilih antara mendahulukan/mengutamakan perspektif dalam rangka/cakupan pekerjaan khusus apa yg sedang dikerjakan atau  mendahulukan/mengutamakan tujuan khusus apa yg ingin dicapai si peneliti. Dalam keadaan tertentu, bisa saja tepat kalau si peneliti dalam proses penelitian teks tersebut berfokus pada teori feminisme. Sementara dalam keadaan yg lain, si peneliti perlu melakukan penelitian menggunakan multivalent readings, mencoba memahami sebuah teks melalui berbagai macam perspektif.

Bagaimanapun juga, sebuah pendirian multiperpektif, (dimana pendirian itu bukanlah sebuah eclecticism yg murni bersifat liberal;  dimana pendirian itu bukanlah sebuah percampuran murni berbagai sudut pandang yg berbeda) haruslah mengizinkan berbagai macam sudut pandangnya saling menginformasikan dan memodifikasi antara yg satu dengan yg lainnya. Sebagai contoh, Marxisme yg mendapat informasi dari feminisme akan berbeda dari sebuah Marxisme yg memiliki dimensi tunggal tanpa di pengaruhi oleh pemikiran feminisme apapun (dan begitu pula sebaliknya). Sebuah pendirian Marxis-Feminis yg mendapat informasi dari poststrukturalisme akan berbeda dari sebuah sudut pandang Marxis-feminis yg bersifat dogmatis yang percaya bahwa sudut pandang ini memiliki metode super untuk menyerang teks-teks kebudayaan.

Sebagaimana diketahui, poststrukturalisme, menghindarkan sang peneliti dari dogmatisme metodologis, mengunggulkan  keanekaragaman sudut pandang , dan memfokuskan perhatian pada fitur-fitur yg diabaikan oleh beberapa sudut pandang Marxis atau feminis. Meskipun begitu, sebuah sudut pandang postrukturalis, seperti dekonstruksi, dapat dengan sendirinya menjadi dapat diprediksi & berat sebelah/timpang jikalau sudut pandang postrukturalis tidak memanfaatkan sudut-sudut pandang yg lainnya contohnya Marxisme & feminisme (lihatlah Ryan 1982 dan Spivak 1988).


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 19

Oleh karena itulah kritik ideologi seyogyanya peduli terhadap kemungkinan terjadinya perdebatan dalam hal pemahaman yg didapat setelah membaca teks ideologis dan seyogyanya tidak ragu menawarkan pemahaman yg berbeda yg merupakan hasil pemikiran sendiri setelah membaca teks konservatif. Berusaha menyingkap pengetahuan progresif , bahkan pengetahuan yang berasal dari film berhaluan sayap kanan, seperti contohnya Rambo.

Pendalaman Teori Budaya Multiperspektif

Oleh karena itulah, teks sinematis tidaklah berhaluan “konservatif” atau “liberal” secara intrinsik. Banyak dari teks sinematis yg mengusulkan/sebenarnya menyajikan pendirian ideologis tertentu, namun pendirian-pendirian itu seringkali terkubur oleh aspek-aspek lainnya yg terdapat pada teks tersebut. Teks yg merupakan hasil budaya populer, contohnya adalah teks kesusasteraan, bersifat polysemic dan multi tafsir. Teks kesusasteraan menggabungkan berbagai macam wacana, pendirian ideologis, strategi-strategi narasi, konstruksi kesan/gambaran (image construction), dan efek-efek sinematis yang kadangkala melebur kedalam sebuah pendirian ideologis yg murni dan harmonis. Sebagaimana yg telah saya sampaikan, bahwa film-film tertentu mengkampanyekan pendirian  ideologis tertentu yang dapat diperjelas dengan jalan mengkaitkan/menghubungkan film-film tersebut dengan wacana dan debat politik yang muncul pada masa film tersebut diproduksi, mengkaitkan/menghubungkan film-film tersebut dengan film-film lainnya yang juga membahas tema yang sama atau saling berbagi kode-kode tertentu yg bersifat umum, dan  mengkaitkan/menghubungkan film-film tersebut dengan elemen-elemen lainnya di dalam kebudayaan yg aktif di dalam film tersebut.

Pendekatan semacam itu terhadap film membutuhkan sebuah lensa multiperspektif yang membaca/memahami film dalam kaitannya dengan elemen-elemen yg berpengaruh pada zamannya. Nietzsche berpendapat bahwa semua interpretasi disusun oleh sudut pandang/perspektif si penafsir/interpreter dan oleh sebab itu maka jelaslah bahwa interpretasi dipenuhi oleh praduga, nilai moral yg dianut oleh si penafsir,  bias, dan keterbatasan-keterbatasan.  Untuk menghindari munculnya pandangan sebelah mata dan pemahaman yg terpisah-pisah, si penafsir seyogyanya belajar “bagaimana menggunakan/memanfaatkan berbagai macam sudut pandang & penafsiran dalam hal mencari/menemukan pengetahuan” (Nietzsche 1969 : 119). Bagi Nietzsche : “There is only a perspective seeing, only a perspective ‘knowing’; and the more affects we allow to speak about one thing, the more complete will our ‘concept’ of this thing, our ‘objectivity,’ be” (ibid) . Penjelasan lebih lanjut mengenai perlunya penafsiran yg bersifat multi sudut pandang (multiperspectival interpretation) terdapat dalam kalimat-kalimat di buku karya  Nietzsche yg berjudul  The Will to Power.  Nietzsche berpendapat : “Setiap keangkuhan manusia akan menyebabkan munculnya penafsiran yg lebih sempit;
sementara pertambahan keyakinan diri dan meningkatnya keinginan untuk mengetahui sesuatu yg baru
akan membuka peluang bagi munculnya sudut pandang baru dan menyebabkan kita bisa mempercayai dalam horison yg baru.” (1968: 330).

Dengan menerapkan pemahaman ini kepada kegiatan interpretasi budaya, kita boleh berpendapat bahwa semakin banyak sudut pandang yang kita gunakan untuk melakukan interpretasi terhadap sebuah artifak kebudayaan, maka semakin dalamlah pemahaman dan semakin tajamlah analisa seorang peneliti dalam mengintepretasikan artifak budaya itu. Sebelumnya saya sudah memberikan pendapat bahwa agar kita dapat mengungkap keseluruhan dimensi politis dan ideologis yg terdapat dalam sebuah teks, kita perlu memandang teks itu melalui sudut pandang gender, ras, dan kelas sosial, dan sekarang saya menyarankan bahwa dengan memadukan Marxisme, feminisme, strukturalisme, poststrukturalisme, psikoanalisa, dan sudut-sudut pandang kritis lainnya maka akan menyediakan proses pemahaman bacaan yg lebih utuh, lengkap, dan secara potensial lebih tajam. Sebagai contoh, dengan jalan memadukan antara kritik ideologis , kritik genre, analisa semiotik, maka akan memungkinkan kita  mengenali bagaimana bentuk genre (forms of genres), atau kode semiotik, merasuki ideologi.
Sebagai contoh, kode konflik/resolusi yg terdapat dalam kebanyakan hiburan televisi, menyajikan pendirian ideologis yg menyatakan bahwa semua permasalahan dapat diselesaikan didalam masyarakat yg ada dengan jalan mematuhi tingkah laku dan norma sosial yg disepakati oleh masyarakat tersebut. Genre film “mengenang perang Vietnam” yang dianalisa lebih awal dalam tulisan ini menyajikan pembenaran terhadap anti komunisme, penggalangan kekuatan militer, dan intervensi militer terhadap negara lain (dan juga sebagai kompensasi bagi kekalahan Amerika Serikat di Vietnam).


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 18

Oleh sebab itu, proses membaca semacam itu membutuhkan perhatian pada fenomena yg tampak marginal dari teks tersebut dan menimbulkan kesimpulan bahwa proses membaca teks ideologis dengan cara “melawan arus” akan memunculkan pemahaman yg mendalam secara kritik sosial dan progresif. Proses membaca dekonstruktif juga mendemonstrasikan kontradiksi dan ketidakterkaitan yg terdapat dalam banyak film-film populer.  Proses membaca dekonstruktif memperlihatkan bagaimana teks ideologis tertentu gagal menyelesaikan permasalahan kesenjangan sosial atau konflik yg teks-teks tersebut usahakan untuk membahas atau menyelesaikannya. Dalam hal ketika bagian-bagian teks tersebut dipertanyakan apa yg dinyatakannya sebagai sebuah resolusi atas sebuah konflik atau solusi bagi sebuah permasalahan.

Sebagai contoh, nyanyian lagu “God Bless America” pada akhir film berjudul The Deer Hunter berusaha merekonsiliasi semua konflik dan meringankan penderitaan dalam suasana kesatuan ideologis dan harmoni. Namun pengkajian yg lebih mendalam mengenai tokoh-tokoh dalam cerita itu dan setting  cerita itu mengungkapkan sekelompok orang yg berhati buruk yang menderita, tidak menemukan jalan keluar atas permasalahan yg dihadapinya, dan hidup tersiksa. Pengkajian mendalam mengenai framing of the characters dalam cerita itu memperlihatkan bahwa mereka diisolasi dan diasingkan antara yg satu dengan yg lainnya dan tampilan bar yg membosankan lebih condong kelihatan seperti medan tempur setelah perang ketimbang lokasi yg membahagiakan bagi cinta tuhan demi Amerika.

Banyak film klasik Hollywood, pada kenyataannya, menyanggah kerangka-kerangka ideologis dan resolusi yg mereka anut.  Sebagai contoh, film berjudul Fury karya Fritz Lang (yang dibuat tahun 1936), menggambarkan kekejaman mafia dalam sebuah skenario dimana korupsi, kepalsuan, dan kekejaman kota kecil digambarkan di dalam teks yang bertebaran di kerangka ideologis pada akhir film.

Di film Mildred Pierce (1945), akhir cerita yg bahagia dimana Mildered dibebaskan dari penjara dan dengan ditemani oleh suami pertamanya gagal menyelesaikan pertentangan-pertentangan dalam hal posisi perempuan di masyarakat Amerika. Pembahasan mengenai posisi perempuan dalam masyarakat Amerika ini ditampilkan secara sangat kuat, atau perpecahan diantara Mildred dan suaminya. Dan hal-hal yg sama bisa jadi diterapkan juga pada melodrama karya Douglas Kirk, banyak dari film-film karya Hitchcock, atau film musikal dan melodrama karya Vince Minneli.

Pendekatan dekonstruktif semacam itu juga menekankan bahwa proses membaca yg agak menyimpang  yg dilakukan oleh audiens bisa juga mengaburkan pesan ideologis yang tampak jelas pada teks tersebut. Contohnya adalah ketika kaum hippy yg sedang mabuk menertawakan teriakan polisi berhaluan sayap kanan seperti yg diperlihatkan dalam film berjudul Dragnet, atau teriakan protes warga Afrika-Amerika terhadap solusi liberal bagi permasalahan-permasalahan rasial seperti yg tergambar dalam film-film karya Sidney Poitier. Atau protes radikal seperti yg disampaikan oleh tokoh film Rambo, John Wayne, atau Chuck Norris ketika mereka terlibat dalam aksi heroisme. Atau dengan mencoba mengalihkan argumen ke arah yg berlainan, kita mungkin ingat bagaimana kaum reaksioner cenderung diidentifikasikan dengan tokoh Archie Bunker dalam film All in the Family dan menolak posisi khusus yg lebih liberal.


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 17

Scene akhir peperangan ini, menggambarkan heroisme kepahlawanan sebagai sebuah nyanyian kematian dan pengrusakan yg berlawanan dengan kenyamanan dan kesenangan kehidupan. Peristiwa paling menarik, terjadi pada saat tokoh revolusi Cuba yg bernama Col Bella, yg mencintai kehidupan telah menggiring dirinya untuk mengundurkan diri dari jabatannya, ketika dia menyadari bahwa dirinya lebih seperti seorang polisi ketimbang seorang pemrakarsa revolusi—bermain sekali lagi di mitologi Che Guevara—memutuskan untuk tidak menembak Jed yg membawa tubuh saudaranya yg bernama Matt yg telah dimutilasi. Bella meletakan senapannya dan berjalan menjauh. Apa yg sebenarnya terjadi disini? Apakah pejuang yg memproklamirkan dirinya berfaham Zen fasisme seperti John Milius benar-benar seseorang yg dekat dengan faham liberal dan penolakan keterlibatan diri dengan aktifitas militer?  Ataukah pihak sayap kanan memang peduli terhadap korban manusia yg disebabkan oleh petualangan militer?

Pada kenyataannya, Red Dawn merupakan sebuah teks inkoheren yg dicabik-cabik oleh kontradiksi. Sementara sinematografi film Rambo, sebagaimana yg saya jelaskan sebelumnya, secara langsung mendukung ideologi yg terkandung dalam buku komiknya. Elemen-elemen sinematis yg terdapat dalam film Red Dawn menghasilkan efek yg lebih tidak koheren. Milius menampilkan para penjajah komunis sebagai suku nomaden yg memiliki sifat barbar, dengan jalan menghadirkan mereka setelah seorang guru SMU Afrika-Amerika memberikan pelajaran mengenai Ghenghis Khan, guru SMU itu ditembak dan dibunuh oleh para penjajah komunis. Milius juga menggunakan estetika realisme untuk dapat memanfaatkan detail-detail visual screen agar dapat menggambarkan cara-cara yg ditempuh oleh penganut faham komunis dalam menciptakan sebuah negara polisi (negara yg diawasi secara ketat dan diatur oleh aturan yg ketat), hal ini diambil dari kode-kode genre anti komunis yg muncul lebih awal, yg merupakan komoditi film Hollywood pada akhir tahun 1940 an dan awal tahun 1950 an.

Sebagaimana yg terdapat dalam film berjudul Red Nightmare karya Jack Webb, terdapat gambaran orang-orang yg dipaksa keluar dari rumah mereka, disuruh berbaris di sepanjang jalan, dan ditawan dalam kamp konsentrasi/kamp penyiksaan; gambar yg lain memotret teater film setempat sedang memainkan film-film klasik Rusia. Suasana kemenangan memasuki kota yg dikuasai oleh Colonel Bella hingga lagu kepahlawanan internasional, mengkodekan Colonel Bella sebagai sebuah figur yg berkuasa dan heroik, dan gambaran simpatik mengenai dirinya disepanjang film tersebut memenangkan beberapa simpati bagi kegiatan revolusi komunis. Terlihat pasukan berbaris yg kemudian diikuti munculnya pemimpin pasukan khusus Rusia yg bernama Strelnikov, yg juga ditampilkan secara simpatis.

Kesimpulannya kontradiksi muncul diantara skenario anti komunis Milius dan etos/semangat pro-kepahlawanannya dengan penyelidikan sinematografi yg dilakukannya baik terhadap kaum komunis maupun para pejuang pemberontak dengan disertai penekanan yg paling positif. Dan sebagaimana yg kita perhatikan, selama scenes terakhir, gambaran mengenai kematian dan kesekaratan mempertanyakan ethos/semangat kepahlawanan. Pada kenyataannya, narasi menjadi benar-benar membingungkan setelah pembukaan dan teks yg energetik berubah menjadi semakin inkoheren dan membingungkan pada saat prosesnya, oleh karena itulah untuk mencegah Milius dari menjadi sutradara sinematis dan pakar ideologi anti komunis jaman pemerintahan Reagan (sebuah hadiah yg dimenangkan oleh Stallone).

Sebagai akibatnya, dimana Milius berniat menciptakan sebuah film berhaluan sayap kanan, mendukung pihak militer, dan anti-komunis—dan film ciptaannya itu benar-benar mengandung contoh yg berlebihan dari tema-tema tersebut ( berhaluan sayap kanan, mendukung pihak militer, dan anti-komunis) dan dibaca melalui pemahaman yg memang sesuai, ketika tema itu muncul. Sama halnya dengan itu, film berjudul Rambo menghadirkan fantasi mengenai kepahlawanan pihak sayap kanan dan kompensasi ideologis bagi kekalahan AS dalam peperangan di Vietnam. Film Rambo menggambarkan politik yg pada dasarnya dijalankan secara korup, dan perlawanan Rambo terhadap sistem komputer menggambarkan proses pengkunoan pahlawan primitif dalam sistem persenjataan berteknologi canggih dimana orang-orang bodoh seperti Rambo merupakan tumbal sasaran tembak yg paling bagus, tumbal yg akan semakin tidak relevan dalam suasana pertempuran berteknologi canggih.

Dengan cara membaca melawan arus, film Rambo dapat dipahami sebagai pengakuan terhadap pngorbanan kelas pekerja dan sebagai sebuah demonstrasi pemanfaatan yg hanya mementingkan diri sendiri, manipulasi pemuda kelas pekerja yg kurang berpendidikan seperti Rambo— film berjudul Platoon yg lebih duluan menggunakan tema kelas pekerja kulit putih dan suku-suku yg berasal dari dunia ketiga dijadikan tumbal dalam permainan perang di Vietnam.


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 16
Film tesebut juga berusaha menampilkan wanita dan feminisme dalam ideologi kepahlawanan sayap kanan. Dua orang remaja putri bergabung dengan kelompok pejuang oposisi dan menjadi tokoh pahlawan yg sama efektifnya dengan para pria. Pesan yg ingin ditampilkan oleh film itu sepertinya adalah wanita sejati kebanyakan seperti pria sejati, dan oleh sebab itu mengalihkan feminisme kedalam agenda militernya, pada saat dimana AS menerima keanggotaan wanita didalam angkatan bersenjata sukarela AS. Pada saat yg bersamaan film tersebut mengekang unsur seksualitas, hal ini ditunjukan melalui tokoh Erika (diperankan oleh Lea Thompson), yang jatuh cinta pada seorang pilot yg usianya lebih tua yg turut bergabung dengan pasukan tersebut, namun kemudian sang pilot terbunuh. Pejuang wanita lainnya, Toni, hanya menampilkan perasaannya untuk Jed, si pemimpin kelompok, pada saat Toni sekarat, Jed menanggapinya dengan memberikan ciuman di dahi Toni.

Bagaimanapun, elemen-elemen marginal, undercut in subtle ways ideologi sayap kanan yg terkandung dalam film tersebut. Pendalaman ideologi dominan Amerika ditampilkan dalam cuplikan Arapaho National Battlefield dimana salah satu “pertempuran paling hebat di kawasan Amerika Barat” terjadi.
Milius mencoba mencakup pembahasan mengenai penjarah tanah yg berada di bawah kekuasaan Indian, dan pembantaian para pejuang pembebasan suku asli Amerika dengan jalan memanfaatkan tema komunisme rusia untuk menterjemahkan bercak tema diatas kedalam terminologi marxis :

“Ada pemberontakan besar yg terjadi pada tahun 1908 yg dilakukan oleh suku Indian. Perjuangan mereka dilumpuhkan oleh presiden Theodore Roosevelt, yg memimpin pasukan yg terdiri dari unsur cossacks pengusung faham imperialisme dan para cowboy. Pertempuran itu berlangsung sepanjang musim dingin. Lebih dari 35.000 orang tewas. “

Sementara Milius mungkin mencoba menyamarkan sejarah kolonial di dalam film ini dengan jalan memanfaatkan jargon komunisme Soviet, “yaitu kaum marginal berjumlah 35.000 orang yg tewas terbunuh”. Dia memanfaatkan jargon ini untuk menutupi dan menyindir kerusakan kejam yg diakibatkan oleh petualangan imperialis Amerika. Episode ini juga menyamakan penjajah komunis dengan para perintis bangsa Amerika yg lebih dulu menjajah wilayah Indian. Oleh karenanya memperlihatkan para agresor komunis dan amerika sebagai saudara dibawah kulit imperialis mereka, tidak ada yg lebih baik atau lebih buruk antara satu dengan lainnya.

Juga tidak jelas untuk memperoleh apa para pejuang remaja itu bertempur dan tewas. Pada situasi dimana mereka berhadapan dengan keharusan membunuh seorang pengkhianat yg ada di dalam kelompok mereka, salah seorang remaja bertanya : “apa sih perbedaan antara kita dengan mereka,” kemudian Jed, si remaja penganut faham fasisme, mengajukan tanggapan yg agak bodoh: “kita hidup disini!” . Saya berkesimpulan baik film Red Dawn maupun mini seri TV yg berjudul Amerika menghadirkan kebangkrutan ideologis ideologi sayap kanan. Kebanggaan dalam hal patriotisme, pertempuran, dan pengorbanan yang mereka dapatkan adalah bendera kebangsaan, lagu kebangsaan, dan rasa percaya diri yg bersifat maskulin.

Lebih jauh lagi, film Red Dawn berusaha mengembangkan keseluruhan agenda nilai moral pihak sayap kanan, Saya berpendapat proyek ideologis benar-benar tidak sesuai dan gagal (kita juga bisa memberikan pendapat yg sama pada film karya Milius yg berjudul Conan). Sangat jauh dari kesan perayaan perang dan kepahlawanan, film Red Dawn memperlihatkan perasaan tersia-siakan, kehampaan, dan penghancuran yg disebabkan oleh kekejaman militer (seperti yg juga tergambar dalam film Platoon, jika dilihat dari sudut pandang liberal kritis). Setelah merayakan/mengagung-agungkan sifat kepahlawanan yg terdapat pada para remaja yg tergabung dalam kelompok pejuang pembebasan, sepanjang sepertiga bagian akhir film ini, satu per satu remaja tersebut berubah menjadi brutal dan kadang-kadang tewas terbunuh. Oleh karena itu, kita bisa bilang, film Red Dawn memupuskan etika kepahlawanan ketika para pejuang remaja menjadi semakin brutal dan menebus aksi kepahlawanan mereka dengan nyawa mereka.

Pada sebuah scene yg mengharukan, hampir di penghujung film Red Dawn, Jed dan saudaranya Matt kembali ke taman dimana mereka dulu biasa bermain bola ketika masih kecil, salah satu dari mereka mengeluarkan foto masa kecil dimana terlihat keduanya tersenyum bahagia di foto itu. Secara batiniah, ketika membandingkan saat masa kecil mereka dengan apa yang terjadi pada diri mereka sekarang, Jed meneteskan air mata dan mulai menangis. Pada akhir film yg tragis ini, dikisahkan sepuluh orang pejuang yg tersisa terbunuh dan nasib kedua bersaudara itu, Jed dan Matt, hilang bersama angin, sebagaimana Ericka (Lea Thompson) menceritakan usahanya kabur menuju “daerah merdeka” dan dia tidak pernah bertemu kedua saudara itu lagi.


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 15

Film Red Dawn dibuka dengan tampilnya tulisan-tulisan di layar yg menceritakan mimpi buruk pihak sayap kanan. Dalam mimpi buruk itu dikisahkan bahwa pihak sayap kiri mengambil alih/menguasai dunia dan Amerika Serikat benar-benar terisolasi. Setelah itu musik Jerman yg terdengar berat mengiringi tampilnya gambar awan dan langit, kamera mengambil gambar secara dekat deretan bukit barisan, setelah itu kamera terfokus pada sebuah monumen —kesemuanya menampilkan secara agresif gambaran-gambaran fasis yg dipilih secara seksama dari karya pembuat film Nazi bernama Leni Riefenstahl. Hal ini terbukti dengan pembukaan film Red Dawn yg meniru cuplikan film karya Leni yg berjudul The Triumph of the Will. Karakteristik yg terdapat dalam film karya Leni tampak jelas menginspirasi pandangan Milius terhadap intisari faham sayap kanan. Monumen yg disorot oleh kamera dalam film ini mengandung sebuah teks ideologis yg dinyatakan oleh Theodore Roosevelt, seorang penganut faham ultra-imperialist. Dimana dalam Film Red Dawn nilai-nilai kepahlawanan yg ingin diolah mengikuti perkataan  Theodore Roosevelt: “Far better is it to dare mighty things than to take rank with those poor timid spirits who know neither victory nor defeat.”

Film Red Dawn ingin mengolah sebuah agenda khusus anti komunis dengan jalan memperlihatkan pasukan Soviet, Kuba, dan Nikaragua menjajah Amerika Serikat setelah mereka melakukan penyanderaan terhadap sebuah SMU yg dianggap strategis yg berada di pedesaan di Colorado. Skenario ini memaksa Milius menghadirkan sebuah invasi komunis berskala besar – tentu saja sekilas kesan “kemahadasyatan” muncul sesuai dengan apa yg ingin ditonjolkan oleh Roosevelt/Milius. Lebih jauh lagi, gambar-gambar pembukaan memperlihatkan kota kecil di AS sebagai sebuah tempat yg benar-benar terisi oleh jiwa-jiwa yg lemah dan penuh ketakutan.  Memperlihatkan kota kecil di AS sebagai tempat dimana sepak bola dan kencan dimalam minggu merupakan aktivitas paling berharga bagi penduduk kota. Dengan kata lain, film kepahlawanan ini benar-benar bersifat anti AS, sangat menghina masyarakat AS yg hidup pada zaman sekarang. Sementara film bertema anti komunis ini secara diam-diam bersimpati terhadap kegiatan revolusi komunis, bersimpati terhadap kenekatan para pejuang revolusioner komunis.

Film Red Dawn memainkan skenario militernya melalui gambar-gambar yg mentransformasikan sekelompok kecil remaja menjadi anggota pejuang pembela, dan berusaha mengembalikan sosok pejuang kebebasan yg memiliki sifat pahlawan revolusioner bagi pihak sayap kanan—sosok yg memegang peranan penting dalam mitologi sayap kiri di tahun 1960 an dalam wujud Che Guevera, Viet Cong dan lainnya,  lembaga administrasi presiden Reagan mencoba mempengaruhi pikiran pihak sayap kanan dengan menghadirkan para teroris Nikaragua yg didanai oleh AS sebagai “pejuang pembebasan”. Dengan jalan membuat seorang tokoh penganut faham komunis berkebangsaan Kuba di dalam film Red Dawn, yaitu Col. Bella (Ron O’Neil), sebagai simbol seorang pejuang pembebasan, maka Milius memperlemah buku komik anti komunisme sayap kanannya. Lebih jauh lagi, para pejuang pembebasan berhaluan demokratik bersifat otoriter. Pada gambar utama yg muncul di awal film, sang pemimpin remaja, bernama Jed, menolak dilakukannya pemungutan suara demokratis dan mengalahkan presiden SMU berhaluan liberal yg memiliki faham berseberangan dengannya. Kita diharapkan bersimpati dengan “kekuatan” Jed dan memahami demokrasi sebagai tipu muslihat yg lemah, politik yg mementingkan diri sendiri.

Pada kenyataannya, film Red Dawn menampilkan pendangkalan besar-besaran mengenai pemahaman pihak sayap kanan terhadap Demokrasi di AS. Pendangkalan yang diterapkan dalam petualangan politik pada masa pemerintahan William Casey, George Bush, dan aktor film yg memerankan sifat kedua tokoh itu yaitu Oliver North. Dalam film Red Dawn, setiap tokoh dalam film itu diasosiasikan dengan demokrasi yg dilaksanakan secara korup : si presiden (ketua OSIS) SMU mengkhianati “resistance fighter”(pihak oposisi) dan kemudian dibunuh oleh salah satu anggota pihak oposisi.

Ayah sang presiden SMU itu, yg juga merupakan seorang walikota, juga ditampilkan sebagai seorang kolaborator yg pengecut. Lebih jauh lagi, film tersebut menampilkan sosialisasi maskulin dalam masyarakat patriachal. Pada saat Jed dan Matt mengunjungi ayah mereka yang ditawan di sebuah penjara, ayahnya memberi tahu mereka bahwa dia bangga pada mereka sebagai anak-anak, karena telah menyiapkan mereka untuk menghadapi kehidupan yg sulit. Sebuah pandangan konservatif mengenai dunia dibenarkan di dalam skenario ideologis film itu.

Nasehat terakhir yg diberikan oleh ayah Jed kepada mereka adalah perintah agar jangan bersedih dan sebuah permohonan untuk membalaskan dendam ayah mereka. Setelah kejadian itu kita bisa melihatbahwa Jed sama otoriter dan tangguhnya dengan ayahnya sebagaimana film tersebut menampilkannya. Film tersebut memberikan pertanda bahwa otoriter partriachal diwariskan dari ayah ke anak lelakinya, dimana anak laki-laki mereka meneruskan adat istiadat otoriter dan agresif yang dicontohkan oleh ayah mereka (meskipun begitu kita perlu ingat bahwa skenario sosialisasi konservatif yang teramati dalam film ini diserang oleh praktek sosial yg lebih liberal di AS pada saat ini).


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 14

Dalam situasi yg lain, elemen-element marginal bisa saja menjadi penting. Dalam judul pembukaan film Beverly Hills Cop, kita memperoleh gambaran realistik mengenai pemukiman kumuh warga Afrika Amerika di Detroit—lebih tepatnya film tersebut ingin memberikan gambaran ideologis mengenai kehidupan masyarakat Beverly Hills yg memiliki kelas sosial yg tinggi, dan menghapus kesan-kesan yg biasa dimiliki oleh film aksi. Pada tulisan yg lain, Robin Wood memberikan pendapat mengenai ketidakterkaitan dan pertentangan (Wood 1986). Dalam kasus ini, kritik ideologi akan mengungkap inti dari pertentangan ideologis, atau berusaha menunjukan bagaimana apa yg tampak sebagai inti pendirian ideologis  atau argumen dipertanyakan dan digerogoti oleh elemen-elemen yg bertentangan atau marginal yang terdapat di dalam teks tersebut. Prosedur ini akan memperlihatkan bagaimana ideologi-ideologi bisa mengalami pertentangan dengan dirinya sendiri atau mengalami kegagalan. Dan oleh karenanya mendemonstrasikan apa yang bisa memecah belah ideologi hegemony itu sendiri, titik lemah dan ketimpangan yg ada di dalam ideologi hegemony itu sendiri.

Kita seyogyanya juga mencermati apa yg disembunyikan oleh teks ideologis, dikarenakan seringkali yg terjadi di teks ideologis adalah justru penolakan dan kebisuan lah yang menyingkap proyek ideologis dari teks tersebut. Sebagai contoh film-film bertema “mengenang perang Vietnam” menyembunyikan tindakan brutal/kejam AS terhadap bangsa Vietnam (sebagaimana yg ditampilkan dalam film seperti Platoon dan Causalities of War) dan menghadirkan/mengesankan para tentara AS sebagai korban yg tidak berdosa dari kejahatan bangsa Vietnam dan komunis. Oleh karena itulah, hegemoni berkerja melalui penolakan dan marginalisasi. Hegemoni juga membenarkan/mengakui pendirian ideologis tertentu. Pembenaran yg dilakukan oleh hegemoni sama banyaknya/sama kadarnya dengan penolakan dan marginalisasi yg dilakukannya.

Metode kritik ideologi semacam ini mendorong si kritikus tertarik mempelajari bagaimana ideologi mengalami kegagalan sama besar dengan ketertarikannya mempelajari bagaimana ideologi mengalami keberhasilan. Metode kritik ideologi semacam ini mendorong si kritikus tertarik mempelajari bagaimana teks ideologis sebagai wilayah penuh ketegangan dan ketidakharmonisan bahkan pada saat dimana teks-teks ideologi tersebut tampak paling harmonis dan sukses secara ideologis. Meskipun film berjudul Dirty Harry episode pertama, tampak jelas sebagai cara pandang sayap kanan terhadap hukum dan ketertiban, namun film ini menampilkan sebuah konflik yg terjadi antara pandangan-pandangan faham liberal dan faham konsevatif mengenai penegakan hukum. Dan pada saat film ini berusaha melakukan keberpihakan secara khusus terhadap faham konservatif , film ini memberikan gambaran mengenai sebuah masyarakat yg sangat didominasi oleh kejahatan, korupsi, dan rasa putus asa yg tak berkesudahan. Sehingga sebuah proses pemahaman kritis mengenai film ini bisa mendemonstrasikan bahwa solusi bagi tindak kejahatan baik yang di buat oleh kelompok liberal maupun konservatif tidaklah cukup mampu untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hanya perombakan/restrukturisasi sosial secara radikalah yg merupakan satu-satunya jalan yg tepat untuk menyelesaikan permasalahan yg dihadirkan dalam film ini. Tanpa perlu berpanjang lebar, tidak diragukan lagi, kesimpulan yg dapat ditarik dari episode pertama film Dirty Harry, dimana Harry mencopot lencana kepolisian miliknya, adalah mengandung makna bahwa sangking korupnya masyarakat tersebut sampai-sampai solusi yg dibuat oleh pihak sayap kanan pun gagal mengatasi masalah kejahatan.

Pahlawan kaum konservatif yg memiliki sifat individualis berjalan sendirian menuju kesejatian di dalam film itu tapi kekuatan komersial dan ekonomi kaum konservatif sendirilah yg menghancurkan kesejatian yg dielu-elukan oleh para pengkhayal berhaluan konservatif. Hal itu memperlihatkan bahwa solusi klasik yg dibuat oleh aliran konservatif semakin tidak efektif lagi di zaman moderen ini.

Orang bisa berpendapat bahwa, bahkan proyek ideologis yang terdapat pada film yg secara agresif mendukung haluan sayap kanan seperti Red Dawn dan Rambo pun mendekonstruksi dirinya sendiri dan pada dasarnya tidak stabil. Film Red Dawn (1984) disutradarai oleh John Milius yang memproklamirkan dirinya sendiri sebagai “Zen Fascist”. John Milius juga memiliki reputasi jelek dikarenakan membuat film yg mengagung-agungkan kepahlawanan penjahat berkebangsaan Arab. Filmnya tersebut berjudul The Wind and The Lion dan Conan The Barbarian, kedua film ini menyampaikan slogan Nietzsche : “whatever does not kill me will make me stronger.” Film Red Dawn diputar di bioskop pada periode terjadinya perdebatan sengit seputar masalah dukungan presiden Reagan terhadap penentangan Nicaragua terhadap faham komunis dan kelompok anti komunis lainnya, kelompok kontra revolusioner yg ada diseluruh dunia, disertai dengan pembangunan militer dan sikap bermusuhan yg ditunjukan oleh presiden Reagan terhadap Uni Soviet.
Dalam kaitan ini, Red Dawn memperkuat pendirian anti-komunis dan kontra revolusioner yang dipakaidalam film itu dan menghasilkan ketakutan-ketakutan politis tertentu yang secara konstan dimainkan oleh presiden Reagan.


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 13

Hegemoni, Counterhegemony, dan Dekonstruksi

Kegiatan pengembangan terhadap cara baru membaca dan mengkritisi teks yg dilakukan oleh New French Theory juga memiliki akibat yg penting bagi proyek kritik ideologi. Berbagai ahli postrukturalis berkebangsaan Perancis menentang faham Marxis yg menyatakan bahwa ideologi bersemayam di dalam pusat teks dan menyusun pusat teks, dan oleh karenanya kritik ideologi melibatkan kegiatan menyalahkan dan menghancurkan proposisi ideologi sentral terhadap teks. Demi menentang prosedur ini, para teoritikus seperti Roland Barthes, Pierre Macheray, Jaques Derrida dan para ahli poststrukturalis lainnya memperkenalkan cara baru dalam membaca teks dan terlibat dalam kritik ideologi. Dalam pandangan poststrukturalis, teks seyogyanya dibaca sebagai ekspresi/ungkapan berbagai macam suara ketimbang dibaca sebagai pernyataan/artikulasi satu suara ideologis tunggal yg kemudian dispesifikasikan dan diserang. Oleh karenanya teks membutuhkan kegiatan membaca yg mampu menyatukan berbagai elemen, dan serangkaian strategi kritik atau tekstual yang akan menyingkap pertentangan, konflik elemen marginal, dan kebisuan terstruktur yg terdapat di teks. Sebagai contoh, strategi ini melibatkan kegiatan menganalisa bagaimana margin teks bisa sesignifikan pusat teks dalam mengungkap pendirian ideologis tertentu, atau menganalisa bagaimana margin sebuah teks bisa memperlemah atau mendekonstruksi pendirian-pendirian ideologis lainnya yang dibenarkan di dalam teks tersebut dengan jalan mempertentangkan atau memperlemah  pendirian ideologis lainnya itu.

Strategi semacam itu membutuhkan perhatian pada margin teks, meskipun margin kelihatannya bukan merupakan elemen penting dari sebuah teks, dan juga membutuhkan perhatian pada pendirian ideologis  yang diakui/dibenarkan. Sebagai contoh, dalam film berjudul An Unmarried Woman, menghadirkan ideologi feminisme liberal. Ideologi feminisme liberal ditampilkan melalui tokoh Erika (Jill Clayburgh) yang mampu mengembangkan dirinya baik dalam hal hubungan dengan orang lain maupun karir setelah suaminya menceraikannya untuk menikahi perempuan yg usianya lebih muda. Pada bagian akhir film tersebut, Erika terlihat melangkah pasti dengan hati yg gembira disepanjang jalanan Manhattan dengan menenteng lukisan berukuran besar yg baru saja diberikan oleh kekasihnya (Alan Bates). Alan mengajak Erika untuk segera pindah ke New Hampshire, namun Erika menolaknya, dikarenakan ia ingin memajukan karirnya. Pada saat Erika menyebrang jalan, tiga orang wanita pekerja  Afrika Amerika dan keturunan Latin berhenti sejenak untuk memandang ke arah Erika dan frame film membeku menyorot ekspresi wajah ketiga wanita itu. Penggalan film ini memperlemah dukungan ideologis yg diberikan oleh film tersebut terhadap feminisme liberal dengan jalan memperlihatkan bahwa sebagian besar wanita tidak mampu meraih kemewahan atau memiliki hak untuk menentukan pilihan sebagaimana yg dimiliki oleh perempuan yg memiliki kelas sosial yg lebih tinggi, contohnya Erika.


Film, Politics, and Ideology: Reflections on Hollywood Film in the Age of Reagan

Desember 5, 2008

Penulis : Douglas Kellner

Website : http://www.gseis.ucla.edu/faculty/kellner/

Catatan:
Tulisan ini merupakan hasil terjemahan dari teks asli yg berbahasa Inggris. Ditujukan hanya untuk kepentingan ilmu pengetahuan dan dunia akademis. Tidak ada maksud untuk memihak pada kelompok/faham tertentu. Dan tidak ada pula maksud untuk menjelek-jelekan kelompok/faham tertentu.

Bagian: 12

Oleh sebab itu, meskipun didalam kegiatan produksi ideologis budaya populer, tetap terdapat kritik mengenai kapitalisme, sexisme, rasisme, atau visi mengenai kebebasan dan kebahagiaan yang bisa menyediakan sudut pandang kritis mengenai keberadaan ketidakbahagiaan dan ketidakbebasan di dalam masyarakat saat ini. Sebagai contoh, The Deer Hunter, meskipun merupakan sebuah teks yang penuh argumentasi (Kellner and Ryan 1988), mengandung gambaran-gambaran utopia mengenai masyarakat, solidaritas kelas pekerja dan etnisitas, dan persahabatan pribadi yang menyediakan sudut pandang kritis mengenai atomisme, alienasi, dan kerugian yg harus ditanggung oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari di linkungan kapitalisme yg telah berakar kuat. Gambaran-gambaran utopia mengenai orang-orang yang mabuk disebabkan oleh narkotika di dalam film berjudul Platoon memberikan visi mengenai harmoni rasial, kebahagiaan individu dan sosial, yang memberikan sebuah sudut pandang penting pada penggarapan latar belakang peperangan sebagai sebuah kegiatan manusia yang menjijikan dan merusak. Gambaran-gambaran mengenai solidaritas sosial dan transendensi dalam Zoot Suit memberikan sebuah utopia dan suasana kontras yg penting bagi tema opresi yg diterapkan bagi masyarakat non kulit putih yg ditemukan dalam latar belakang kehidupan sehari-hari dan kehidupan di dalam penjara yang ada di dalam film. Dan transformasi kehidupan dalam musical numbers of Pennies From Heaven menyediakan sudut pandang penting mengenai degradasi kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan sistem ekonomi yg tidak adil dan irasional yang menginformasikan bagian realis dari film tersebut.

Dari sudut pandang ini, kritik budaya (dan politik) radikal seyogyanya tidak hanya mengkritik ideologi-ideologi dominan tapi juga seyogyanya memberikan perhatian pada hal-hal utopia, oposisi, kontra ideologis, subversive, dan bahkan bila mungkin emancipatory moment yang terdapat di dalam konstruksi ideologis yang kemudian diarahkan pada bentuk-bentuk dominasi yg telah ada. Prosedur ini diambil dari sepenggal kritik imanen yg dipraktekan oleh Frankfurt school pada tahun 1930an  ketika mereka memperlawankan bentuk-bentuk awal ideologi demokrasi borjuis dengan bentuk ideologi masyarakat fasisme yang lebih reaksioner pada masa itu. Kritik imanen masyarakat borjuis membalikan nilai-nilai yg dianutnya melawan bentuk dan praktek sosial saat ini yang menyangkal atau berlawanan secara luas dengan nilai-nilai moral yg telah dikenal, yaitu kebebasan atau individualisme(lihatlah Kellner 1984 dan 1989a). Oleh karena itulah, karena ideologi-ideologi borjuis seperti kebebasan, individualisme, hak asasi, dan sebagainya ketika mencapai tahapan tertentu dimana mencakup aturan dan dominasi kelas, ideologi-ideologi borjuis itu juga mengandung unsur kritis dan emansifatory yang dapat digunakan untuk mengkritisi pengekangan terhadap hak asasi dan kebebasan di dalam masyarakat kapitalis. Praktek yg disebut sebagai “kritik imanen” oleh Frankfurt school memperlawankan ideologi dengan ideologi, menggunakan ideologi yg lebih rasional dan progresif untuk diperlawankan dengan ideologi yg lebih mengekang dan reaksioner (yaitu memperlawankan liberalisme dengan fasisme atau konservatisme gaya baru). Para teoritikus kritik, tidak pernah melakukan kritik imanen terhadap budaya populer dan saya mengusulkan proyek semacam itu dapat digunakan untuk kritik radikal budaya pada zaman sekarang.

Pandangan para kritikus kontekstualis mengenai film, politik, dan ideologi juga diambil dari teori hegemoni yg dibuat oleh Antonio Gramsci. Teori hegemoni menghadirkan budaya, masyarakat, dan politik sebagai lahan konflik bagi berbagai kelompok dan blok-blok kelas sosial. Berdasarkan sudut pandang ini, kritik budaya seharusnya menentukan konflik mana yg sedang berlangsung, konflik tersebut terjadi di antara kelompok yg mana, pada posisi apa, dengan analis budaya turut terlibat menentukan kelompok mana yg lebih dominan (lihatlah Boggs 1984 dan Kellner 1000).

Seiring dengan bertambah luasnya teori Gramsci, berbagai macam individu berusaha mengembangkan konsep ideologi yg jauh berbeda, konsep ideologi yg lebih memberikan perhatian pada ideologi-ideologi yang bersifat baru, residu, dan hegemonik yg ada di masyarakat neo-kapitalis atau negara sosialis zaman sekarang (lihatlah Williams 1977; Hall 1987; Kellner 1978 dan 1979). Perluasan konsep ideologi ini memberikan landasan yg lebih aman bagi kritik ideologi. Sehingga kritik ideologi dilandaskan pada analisa sosial-politik yg bersifat kongkrit dan memiliki kekhasan jika ditilik dari sudut pandang kesejarahan. Dan juga melandaskan kritik ideologi pada konteks dimana sebenarnya konflik ideologi terjadi.